Minggu, 27 Oktober 2013

MANAJEMEN PERUBAHAN

A. Manajemen Perubahan

1. Teori-teori tentang perubahan

  • TEORI KURT LEWIN (1951)
Lewin (1951) mengungkapkan bahwa perubahan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tahapan, yang meliputi:

1) Tahap Unfreezing (pencairan)
Proses perubahan ini harus memiliki motivasi yang kuat untuk berubah dari keadaan semula dengan meerubah terhadap keseimbangan yang ada. Masalah biasanya muncul akibat adanya ketidakseimbangan dalam sistem. Tugas perawat pada tahap ini adalah mengidentifikasi masalah dan memilih jalan keluar yang terbaik.

2) Tahap Moving(bergerak)
Proses perubahan tahap ini dapat terjadi apabila seseorang telah memiliki informasi yang cukup serta sikap dan kemampuan untuk berubah. Pada tahap ini perawat berusaha mengumpulkan informasi dan mencari dukungan dari orang-orang yang dapat membantu memecahkan masalah.
3) Tahap Refreezing (pembekuan)
Tahap ini dimana seseorang yang mengadakan perubahan telah mencapai tingkat atau tahapan yang baru dengan keseimbangan yang baru. Tugas perawat sebagai agen berubah berusaha mengatasi orang-orang yang masih menghambat perubahan.

  • TEORI ROGER (1962) :
Roger (1962) mengembangkan teori dari Lewin (1951) tentang 3 tahap perubahan dengan menekankan pada latar belakang individu yang terlibat dalam perubahan dan lingkungan dimana perubahan tersebut dilaksanakan.
Roger(1962) menjelaskan 5 tahap dalam perubahan, yaitu: kesadaran, keinginan, evaluasi, mencoba, dan penerimaan atau dikenal juga sebagai AIETA (Awareness, Interest, Evaluation, Trial and Adoption).
Teori Rogers(1962)
  • Teori Rogers tergantung pada lima faktor yaitu :
  1. Perubahan harus mempunyai keuntungan yang berhubungan menjadi lebih baik dari metode yang sudah ada (kesadaran).
  2. Perubahan harus sesuai dengan nilai-nilai yang ada, tidak bertentangan perasaan.
  3. Kompleksitas. Ide-ide yang lebih komplek bisa saja lebih baik dari ide yang sederhana asalkan lebih mudah untuk dilaksanakan (evaluasi).
  4. Dapat dibagi Perubahan dapat dilaksanakan dalam skala yang kecil (uji coba).
  5. Dapat dikomunikasikan. Semakin mudah perubahan digunakan maka semakin mudah perubahan disebarkan (adopsi).
  • TEORI LIPITTS (1973) :
Lippit (1973) mendefinisikan perubahan sebagai sesuatu yang direncanakan atau tidak direncanakan terhadap status quo dalam individu, situasi atau proses dan dalam perencanaan perubahan yang diharapkan, disusun oleh individu, kelompok, organisasi atau sistem sosial yang mempengaruhi secara langsung tentang status quo, organisasi lain atau situasi lain.

Teori LippittTeori ini merupakan pengembangan dari teori Lewin. Lippitt mengungkapkan tujuh hal yang harus diperhatikan seorang manajer dalam sebuah perubahan yaitu :

7 tahap dalam proses perubahan:

  1. Mendiagnosis masalah. Mengidentifikasi semua faktor yang mungkin mendukung atau menghambat perubahan.
  2. Mengkaji motivasi dan kemampuan untuk berubah mencoba mencari pemecahan masalah.
  3. Mengkaji motivasi dan sumber-sumber agen mencari dukungan baik internal maupun eksternal atau secara interpersonal, organisasional maupun berdasarkan pengalaman.
  4. Menyeleksi objektif akhir perubahan. Menyusun semua hasil yang di dapat untuk membuat perencanaan.
  5. Memilih peran yang sesuai untuk agen berubah. Pada tahap ini sering terjadi konflik teruatama yang berhubungan dengan masalah personal.
  6. Mempertahankan perubahan. Perubahan diperluas, mungkin membutuhkan struktur kekuatan untuk mempertahankannya.
  7. Mengakhiri hubungan saling membantu. Perawat sebagai agen berubah, mulai mengundurkan diri dengan harapan orang-orang atau situasi yang diubah sudah dapat mandiri.

Menurut Steward (1997) perubahan adalah fenomena yang bersifat alami dan berkesinambungan. Kekuatan pendorong perubahan ada yang bersifat eksternal dan ada yang bersifat intenal. Ada dua jenis perubahan, yang pertama perubahan struktur dan yang kedua adalah perubahan teknologi.

Manajemen perubahan diperlukan karena perubahan adalah sesuatu yang selalu terjadi, baik evolusi maupun revolusi, sehingga perlu dikelola sertau ntuk membuat perusahaan survive.

Manajemen perubahan adalah proses terus-menerus memperbaharui organisasi berkenaan dengan arah, struktur, dan kemampuan untuk melayani kebutuhan yang selalu berubah dari pasar, pelanggan dan para pekerja itu sendiri. Kegiatan manajemen perubahan harus berlangsung pada tingkat tinggi mengingat laju perubahan yang dihadapi akan lebih besar dari masa sebelumnya.

Last but not least, agar terjadi perubahan yang signifikan dan dapat diimplementasikan dengan baik kedalam suatu organisasi, maka hal berikut ini harus segera terjadi, yakni:
Orang harus memahami dengan jelas tentang apa yang dimaksud dengan organisasi bisnis dan pelanggan. Dengan demikian, definisi yang jelas tentang tujuan bersama diperlukan; dan
Persyaratan kinerja baru harus dinyatakan dengan jelas dan dipahami oleh para pekerja, sehingga mereka mampu melakukan perubahan perilaku sekaligus merubah cara mereka melakukan bisnis, tentunya perubahan ini secara luas harus selaras dengan tujuan organisasi.

Dengan demikian, para manajer perlu melakukan pembinaan untuk suatu perubahan yang konstruktif pada seluruh organisasi. Ketika ide perubahan disampaikan kepada seluruh lapisan organisasi sebagai sebuah mainstream, maka dengan sendirinya perlu dibarengi oleh perubahan infrastruktur pembinaan yang sudah ada, yang dapat mengatasi segala bentuk resistensi, sehingga mereka terdorong untuk mencoba dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang telah direncanakan.

B. Penyebab Perubahan


Secara garis besar faktor penyebab terjadinya perubahan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: faktor eksternal dan internal.

1. Faktor Eksternal


Faktor eksternal ialah penyebab perubahan yang berasal dari luar sekolah atau sering disebut lingkungan. Sekolah sebagai organisasi modern menganut asas sistem terbuka. Konsekuensinya, sekolah harus responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi di lingkungannya. Dalam kenyataannya, banyak sekali penyebab perubahan yang termasuk faktor eksternal, antara lain:teknologi, pemerintah, tuntutan pasar, dan arus globalisasi.

Perkembangan dan kemajuan teknologi merupakan penyebab penting dilakukannya perubahan pada hampir semua jenis organisasi, termasuk sekolah. Berbagai temuan teknologi (misalnya ICT) memaksa sekolah untuk menerapkannya, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam mendukung proses administrasi. Penerapan temuan teknologi tersebut menyebabkan perubahan dalam berbagai hal, misalnya prosedur kerja yang dilakukan, jumlah,kompetensi, dan kualifikasi SDM yang diperlukan, sistem penggajian yang diberlakukan, dan bahkan kadang-kadang struktur organisasi yang digunakan. Penggunaan peralatan baru bisa juga menyebabkan berkurangnya bagian-bagian yang ada atau berubahnya pola hubungan kerja antara karyawan.

Sekolah juga terselenggara di tengah-tengah masyarakat yang menganut sistem pemerintahan tertentu. Konsekuensinya, sekolah harus tunduk kepada berbagai peraturan pemerintah yang berlaku. Jika suatu saat pemerintah memberlakukan aturan baru maka sekolah harus melaksanakannya dengan kemungkinan melakukan perubahan internal sesuai dengan isi peraturan baru tersebut. Peraturan itu dapat saja menyangkut input, mekanisme kerja, persyaratan kualifikasi dan kompetensi SDM, maupun kompetensi lulusan yang dihasilkan. Peraturan apapun yang pada akhirnya diberlakukan di sekolah, harus dilaksanakan dengan cara dan strategi yang paling efisien.

Sebagaimana organisasi yang lain, sekolah juga merupakan lembaga pelayan masyarakat yang keberadaannya dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu produk (dalam hal ini lulusan) yang dihasilkan harus senantiasa menyesuaikan dengan tuntutan pelanggan/pasar. Pada kenyataannya tuntutan pasar terkait dengan jumlah maupun kompetensi lulusan senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Menghadapi kondisi seperti itu mau tidak mau sekolah harus mengakomodasi jika ingin lulusannya diterima pasar. Akhir-akhir ini tuntutan untuk mengikuti arus globalisasi tidak mungkin dibendung lagi. Sekolah sebagai lembaga yang menyiapkan SDM yang nantinya akan terjun ke pasar global sudah tentu harus tanggap terhadap tuntutan itu. Itulah sebabnya berbagai strategi dan kebijakan yang dianggap sesuai, ditempuh oleh sekolah seperti penerapan ISO, total quality management, peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru, dan sejenisnya. Penerapan berbagai kebijakan sperti itu akan mengubah secara signifikan kondisi internal sekolah, khususnya menyangkut mekanisme kerja organisasi.

2. Faktor Internal


Faktor internal adalah penyebab dilakukannya perubahan yang berasal dari dalam sekolah yang bersangkutan, antara lain:

1) Persoalan hubungan antar komponen sekolah.

2) Persoalanterkait dengan mekanisme kerja.

3) Persoalan keuangan.

Hubungan antar komponen sekolah yang kurang harmonis merupakan salah satu problem yang lazim terjadi. Problem ini dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu (1) problem yang menyangkut hubungan atasan-bawahan (bersifat vertikal), dan (2) problem yang menyangkut hubungan sesama anggota yang kedudukannya setingkat (bersifat horizontal). Problem atasan-bawahan yang sering timbul menyangkut pengambilan keputusan dan komunikasi. Problem-problem yang bersumber dari keputusan pimpinan, dapat menyebabkan munculnyaberbagai perilaku negatif pada bawahan yang kurang menguntungkan organisasi, misalnya sering terlambat datang, sering absen, mangkir, dan sejenisnya. Sampai pada titik tertentu, problem semacam itu dapat menyebabkan munculnya unjukrasa sehingga memaksa pimpinan untuk mengambil tindakan yaitu mengubah keputusan yang diambil atau justru menindak bawahan yang berunjukrasa. Komunikasi antara atasan dan bawahan juga sering menimbulkan problem. Keputusannya sendiri mungkin baik (dalam arti dapat diterima oleh bawahan) tetapi karena terjadi salah informasi (miscommunication), bawahan menolak keputusan pimpinan. Dalam kasus seperti itu perubahan yang dilakukan akan menyangkut sistem saluran komunikasi yang digunakan.

Problem yang sering timbul berkaitan dengan hubungan sesama anggota (warga sekolah) pada umumnya menyangkut masalah komunikasi (kurang lancar atau macetnya komunikasi antar warga), dan juga menyangkut masalah kepentingan masing-masing warga. Persoalan seperti itu sering menimbulkan konflik antar warga sehingga perlu dilakukan perubahan, misalnya dalam hal jalur komunikasi atau bahkan struktur organisasi yang digunakan.

Di samping berbagai persoalan di atas, mekanisme kerja yang berlangsung dalam sebuah sekolah kadang-kadang juga merupakan penyebab dilakukannya perubahan. Problem yang timbul dapat menyangkut masalah sistemnya sendiri dan dapat pula terkait dengan perlengkapan atau peralatan yang digunakan. Pola kerjasama yang terlalu birokratis atau sebaliknya terlalu bebas misalnya, dapat menyebabkan suatu organisasi menjadi tidak efisien. Sistem yang terlalu kaku menyebabkan hubungan antar anggota menjadi impersonal yang mangakibatkan rendahnya semangat kerja dan pada gilirannya menurunkan produktivitas kerja. Demikian juga halnya jika sistem yang digunakan terlalu bebas. Perubahan yang harus dilakukan dalam hal ini akan menyangkut struktur organisasi yang digunakan. Dengan mengubah struktur, pola hubungan antar anggota akan mengalami perubahan.

Pengoperasian sebuah lembaga pendidikansudah barang tentu memerlukan uang. Kesulitan keuangan yang dialami sekolah kadang-kadang juga memaksa untuk dilakukannya perubahan, misalnya penciutan daerah operasi, rasionalisasi, perubahan struktur organisasi, dan sebagainya.

C. Tahap-tahap Perubahan


Setiap perubahan memiliki tujuan tertentu yang dapat berupa upaya penyesuaian terhadap perubahan lingkungan (misalnya selera konsumen berubah, adanya peraturan baru yang diberlakukan pemerintah, kemajuan teknologi, dan lain-lain) dan upaya peningkatan efisiensi organisasi dalam rangka mencapai kondisi yang lebih baik. Apa pun jenis tujuan yang hendak dicapai, setiap perubahan harus disiapkan dengan baik mengikuti langkah-langkah tertentu.Secara sederhana, tahapan (langkah-langkah) yang harus ditempuh dalam mengadakan perubahan sekolah adalah sebagai berikut:
Menyadarkan seluruh warga sekolah bahwa perubahan tertentu perlu dilakukan (unfreezing). Melaksanakan perubahan/menerapkan sesuatu yang baru(changing). Menstabilkan situasi setelah perubahan dilaksanakan (refreezing).

Tahap pertama ialah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perubahan. Tahapan ini berkenaan dengan faktor manusianya, dalam hal ini seluruh warga sekolah. Manusia memegang posisi kunci dalam proses perubahan. Mereka dapat merupakan kunci keberhasilan tetapi sebaliknya dapat juga merupakan faktor penyebab gagalnya perubahan yang dilakukan. Oleh karena itu faktor manusianya harus terlebih dahulu disiapkan dengan baik sebelum perubahan dilaksanakan.

Setelah anggota menyadari arti pentingnya perubahan yang hendak dilakukan, barulah perubahan yang sesungguhnya dilaksanakan. Konsekuensi dari perubahan tersebut bisa sangat beragam, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Saat-saat perubahan berlangsung, sekolah berada dalam kondisi kritis dan sering terjadi chaos karena aturan yang lama sudah ditinggalkan/tidak berlaku lagi tetapi aturan yang baru belum berjalan dengan sempurna. Kondisi seperti itu wajar karena memang sedang dalam masa transisi.Penerapan sesuatu yang baru dapat saja diikuti dengan perubahan sikap dan tingkahlaku warga sekolah.

Tahapan berikutnya ialah mengembalikan sekolah kepada situasi yang normal kembali. Setelah perubahan dilaksanakan, berbagai aturan baru diberlakukan secara penuh, demikian juga para anggota diharapkan bersikap dan bertingkahlaku sesuai kondisi organisasi yang baru. Jika pada tahapan pertama kondisi yang sudah stabil sengaja ’dibuka’ sehingga siap menerima perubahan, maka pada tahapan yang terakhir ini kondisi yang berubah tadi ’ditutup’, agar stabil kembali.

Secara lebih rinci, Wallace dan Szilagyi (1982: 386) mengemukakan bahwa proses perubahan organisasi yang direncanakan (planned change) mencakup enam tahapan, yaitu:

a. Dirasakannya kebutuhan untuk melakukan perubahan

b. Pengenalan bidang permasalahan

c. Identifikasi hambatan

d. Pemilihan strategi perubahan

e. Pelaksanaan

f. Evaluasi 

Tahap-tahap Perubahan dalam Pendekatan Klasik

tahapan manajemen perubahan ini mencakup :

  • Tahap Identifikasi Perubahan. Mengenali perubahan apa yang akan dilakukan/terjadi. Dengan kata lain pimpinan atau kelompok harus mengenali kebutuhan dan tipe perubahan.
  • Tahap Perencanaan Perubahan. Pada tahap ini ditetapkan tujuan perubahan, kemudian harus dilakukan analisis diagnostik mengenai situasi teknis, pemilihan strategi umum, pemilihan cara melaksanakan agar tujuan perubahan tercapai.
  • Tahap Implementasi Perubahan. Melaksanakan perubahan dengan mengikuti tahapan di dalam perencanaan.
  • Tahap Evaluasi dan Umpan Balik. Setelah pelaksanaan berakhir harus dilakukan evaluasi terhadap data, proses dan hasil yang dicapai untuk mengetahui tingkat keberhasilan perubahan dan menghimpun umpan balik (feed back) utk dijadikan bahan pertimbangan perbaikan manajemen perubahan berikutnya.

   Pendekatan Manajemen Perubahan

Terdapat dua pendekatan utama untuk manajemen perubahan yaitu:
  • Planned Change (Perubahan Terencana)
Bullock dan Batten (Burnes, 200:272) mengemukakan bahwa untuk melakukan perubahan terencana perlu dilakukan empat fase tindakan yaitu sebagai berikut:a. Exploration phase (fase eksplorasi).b. Planning phase (fase perencanaan).c. Action phase (fase tindakan).d. Integration phase (fase integrasi).

  • Emergent Approach (Pendekatan Darurat)
Emergent approach memberikan arahan dengan melakukan penekanan pada lima gambaran organisasi yang dapat mengembangkan atau menghalangi keberhasilan perubahan yaitu sebagai berikut:1. Organizational structure (struktur organisasi).2. Organizational culture (budaya organisasi).3. Organizational learning (organisasi pembelajaran).4. Manajerial behaviour (perilaku manajerial).5. Power and politics (kekuatan dan politik).

Dalam melakukan emergent change, Pettigrew dan Whipp (Burnes, 2000:294) mengusulkan model untuk mengelola perubahan strategis dan operasional dengan melibatkan lima faktor yang saling berkaitan yaitu sebagai berikut:

1. Environmental assesment (penelusuran lingkungan).2. Leading change (memimpin perubahan).3. Linking strategic and operational change (menghubungkan perubahan strategis dan operasional).4. Human resources sebagai assets dan liabilities (sumber daya manusia sebagai kekuatan dan beban).

D. Model Manajemen Perubahan

Burnes (2000:462) mengemukakan bahwa perubahan organisasional dapat dilihat sebagai produk dari tiga proses organisasi yang bersifat interpenden antara lain:

1. The Choice Process (Proses Pilihan) 

The choice process terdiri dari tiga elemen yaitu sebagai berikut:

a. Organizational context (konteks organisasional).
b. Focus of choice (fokus pilihan).
c. Organizational Trajectory (Lintasan organisasional).

2. The Trajectory Process (Proses Lintasan)

The trajectory process terdiri dari tiga elemen berikut:
a. Vision (visi).
b. Strategy (strategi).
c. Change (perubahan).

3. The Change Processs (Proses Perubahan)

Proses perubahan terdiri dari tiga elemen yang saling berhubungan yaitu sebagai berikut:
a. Objectives and Outcomes (Tujuan dan Manfaat)
Burnes (2000:470) mempunyai empat pendekatan yaitu:

- The Trigger (Pemicu)
Organisasi harus hanya menginvestigasikan perubahan untuk salah satu alasan yaitu visi dan strategi perubahan menyoroti kebutuhan untuk perubahan, kinerja saat ini mengindikasi bahwa seberapa masalah atau kepentingan muncul, dan peluang yang timbul secara potensial menawarkan manfaat yang penting bagi organisasi.
- The Remit (Pembatalan)
Hal ini harus dinyatakan dengan jelas alasan untuk pengukuran, tujuan, skala waktu, dan siapa yang harus dilibatkan serta dikonsultasikan. The remit harus menekankan kebutuhan untuk fokus pada aspek manusia sebanyak pertimbangan teknis dilibatkan.
- The assesment team (Tim Pengukuran)
Dalam hal ini, tim ini harus besifat multi disiplin, yang terdiri perwakilan dari bidang yang berpengaruh (manajer dan staf), staf spesialis (keuangan, teknis, dan personil).


b. Planning The Change (Merencanakan Perubahan)
Berikut adalah enam kegiatan yang saling berkaitan dalam melakukan proses perencanaan dan perubahan yaitu:
1. Establishing a change management team (membentuk tim manajemen perubahan).
2. Management structure (struktur manajemen).
3. Activity planning (perencanaan aktivitas).
4. Commitment planning (perencanaan komitmen).


c. People
Terdapat tiga kegiatan yang berhubungan dengan manusia yang perlu dilakukan untuk melakukan perubahan yaitu:
  1. Menciptakan Keinginan untuk Berubah. Dengan maksud mencapai hal ini ada empat langkah yang harus dilakukan organisasi yaitu sebagai berikut:
  • Membuat orang peduli terhadap perubahan.
  • Memberikan umpan balik secara reguler terhadap proses kinerja invidual dan bidang kegiatan di dalam organisasi.
  • Mempublikasikan keberhasilan perubahan.
  • Memahami ketakutan dan kepentingan orang.


     2.  Melibatkan Orang. Tipe keterlibatan orang dalam proses perubahan mempunyai dua faktor utama                 yaitu sebagai berikut:
  • Menciptakan proses komunikasi reguler dan efektif.
  • Membuat orang terlibat dalam proses perubahan dan membuat mereka bertanggung jawab untuk itu.


     3.  Melanjutkan Momentum. Organisasi harus melakukan hal sebagai berikut:
  • Memberikan dukungan pada agen perubahan.
  • Mengembangkan kompetensi dan keterampilan baru.
  • Memperkuat perilaku yang diinginkan.


Sumber-sumber:
http://jeffy-louis.blogspot.com/2011/01/manajemen-perubahan.html

Sabtu, 05 Oktober 2013

KOORDINASI

A. Pengertian Koordinasi, Kooperasi, dan Sinergi


Koordinasi adalah proses untuk memadukan tujuan dan aktivitas dari unit-unit yang ada, supaya tujuan secara keseluruhan dapat tercapai. Tanpa koordinasi, ada kemungkinan masing-masing kerja keras, tetapi kurang mendukung organisasi bahkan merugikan organisasi.

Menurut G.R. Terry koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri (Hasibuan, 2007:85).

Menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.

Sementara itu, Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.

Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.

Terdapat 3 (tiga) macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi seperti diungkapkan oleh James D. Thompson (Handoko, 2003:196), yaitu: 
  1. Saling ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), bila satuan-satuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir. 
  2. Saling ketergantungan yang berurutan (sequential interdependece), di mana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja. 
  3. Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), merupakan hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi.
Ketiga hubungan saling ketergantungan ini dapat digambarkan seperti terlihat pada diagram berikut ini:                                             

Lebih lanjut Handoko (2003:196) juga menyebutkan bahwa derajat koordinasi yang tinggi sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktor-faktor lingkungan selalu berubah-ubah serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga sangat dibutuhkan bagi organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi.

Cooperation merupakan bentuk kerja sama yang dilakukan dengan cara menerima unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.

Kata koperasi, memang bukan asli dari khasanah bahasa Indonesia. Banyak yang berpendapat bahwa ia berasal dari bahasa Inggris:co-operation, cooperative, atau bahasa Latin: coopere, atau dalam bahasa Belanda: cooperatie, cooperatieve, yang kurang lebih berarti bekerja bersama-sama, atau kerja sama, atau usaha bersama atau yang bersifat kerja sama.

Kata koperasi tersebut dalam bahasa Indonesia sebelum tahun 1958, dikenal
dengan ejaan kooperasi (dengan dua 'o'), tetapi selanjutnya berdasarkan Undang undang
Nomor 79 Tahun 1958 kala kooperasi telah diubah menjadi koperasi (dengan
satu o), demikian seterusnya hingga sampai sekarang.


Sinergi (Synergy) adalah bentuk Kerjasama Win-win yang dihasilkan melalui Kolaborasi masing-masing Pihak tanpa adanya Perasaan Kalah. Menurut Stephen Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People, jika 1 + 1 = 3, maka itulah yang disebut “Synergy”. Sinergi adalah saling mengisi dan melengkapi perbedaan untuk mencapai Hasil Lebih Besar daripada Jumlah bagian per bagian. Konsep ber-Sinergi diantaranya adalah berikut ini:
  • Ber-Orientasi pada Hasil dan Positif
  • Perspektif beragam mengganti atau melengkapi Paradigma
  • Saling Bekerjasama dan ber-Tujuan Sama serta adanya Kesepakatan
  • Sangat Efektif diusahakan dan merupakan suatu Proses
Melalui Sinergi, kerjasama dari Paradigma yang berbeda akan mewujudkan hasil Lebih Besar dan Efektif sehubungan Proses yang dijalani menunjukkan Tujuan yang Sama dan Kesepakatan demi Hasil Positif.

B. Jenis Koordinasi


Ada beberapa jenis koordinasi yang dipaparkan oleh para ahli, diantaranya:


1. Jenis-jenis koordinasi menurut Tosi dan Carroll ( 1982 ) ada dua jenis koordinasi yaitu sebagai berikut:

  1. Koordinasi vertical yaitu menunjukkan pengembangan hubungan-hubungan yang efektif dan yang disatupadukan diantara kegiatan-kegiatan pada tingkat-tingkat organisasi yang berlainan. Contohnya persetujuan mengenai pengeluaran modal, katakan pada tingkat wakil direktur yang dikoordinasikan dengan penyerahan dan penerimaan perlengkapan modal pada tingkat pelaksanaan.
  2. Koordinasi horizontal adalah pengembangan hubungan-hubungan yang lancar diantara individu-individu atau kelompok-kelompok pada tingkat yang sama. Misalnya arus informasi yang tepat dari pemasaran ke pabrik tentang penjualan sehingga pabrik dapat mengembangkan rencana produksi yang efisien.

2. Jenis-jenis koordinasi menurut Drs. Soewarno Handayaningrat ( 1991 )

Ada 2 (dua) jenis koordinasi yaitu : Koordinasi intern dan koordinasi ekstern.

Koordinasi intern terdiri atas : koordinasi verticalkoordinasi horizontal, dan koordinasi diagonal.
  • Koordinasi vertical atau koordinasi structural, dimana antara yang mengkoordinasikan secara structural terdapat hubungan hierarchies. Hal ini juga dapat dikatakan koordinasi yang bersifat hierarkhis, karena satu dengan lainnya berada pada satu garis komando ( line of command ). Misalnya koordinasi yang dilakukan oleh seorang kepela direktorat terhadap para kepala sub direktorat yang berada dalam lingkungan direktoratnya.
  • Koordinasi horizontal yaitu koordinasi fungsional, dimna kedudukan antara yang mengkooordinasikan dan yang dikoordinasikan mempunyai kedudukan setingkatnya eselonnya. Menurut tugas dan fungsinya kedua mempunyai kaitan satu dengan yang lain sehingga perlu dilakukan koordinasi. Misalnya koordinasi yang dilakukan oleh kepala biro perencanaan departemen terhadap para kepala direktorat bina program pada tiap-tiap direktorat jenderal suatu departemen.
  • Koordinasi diagonal yaitu koordinasi fungsional , dimana yang mengkoordinasikan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi tingkat eselonnya dibandingkan yang dikoordinasikan, tetapi satu dengan yang lainnya tidak berada pada suatu garis komando (line of command). Misalnya koordinasi yang dilakukan oleh kepala biro kepegawaian pada sekretariat jenderal departemen terhadap para kepala bagian kepegawaian secretariat direktorat jenderal suatu departemen. 
Koordinasi ekstern, termasuk koordinasi fungsional. Dalam koordinasi ekstern yang bersifat fungsional, koordinasi itu hanya bersifat horizontal dan diagonal.
  • Koordinasi ekstern yang bersifat horizontal, misalnya koordinasi yang dilakukan oleh kepala direktorat bina program, direktorat jenderal trasmigrasi terhadap kepala direktorat penyiapan tanah pemukiman transmigrasi, direktorat jenderal bina marga.
  • Koordinasi ekstern yang bersifat diagonal, misalnya koordinasi yang dilakukan oleh kepala badan administrasi kepegawaian Negara ( BAKN ) terhadap para kepala biro kepegawaian tiap-tiap departemen.


3. Jenis-jenis koordinasi menurut penjelasan peraturan pemerintah nomor 6 tahun 1988 tentang koordinasi kegiatan instansi vertical di daerah, pasal 1 : 

ada tiga jenis koordinasi, yakni koordinasi fungsional, koordinasi instansional dan koordinasi territorial.
  1. Koordinasi Funsional, yaitu antara dua atau lebih instansi yang mempunyai program yang berkaitan erat.
  2. Koordinasi instansional, yaitu terhadap beberapa instansi yang menangani satu urusan tertentu yang bersangkutan.
  3. Koordinasi territorial, yaitu terhadap dua atau lebih wilayah dengan program tertentu.

C. Tujuan dan Manfaat Koordinasi


Koordinasi sangat diperlukan dalam manajemen, terutama untuk menyatukan kesamaan pandangan antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan kegiatan dan tujuan organisasi. Koordinasi diperlukan untuk menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lain sehingga tercipta suatu kegiatan yang terpadu mengarah pada tujuan umum lembaga sebagaimaana jari-jari kerangka payung. Tanpa koordinasi, spesialisasi dan lembagian kerja yang dilakukan pada setiap usaha kerja sama akan sia-sia karena setiap bagian cenderung hanya memikirkan pekerjaan atau tugas masing-masing dan melupakan tujuan lembaga secara keseluruhan.

Melalui koordinasi setiap bagian yang menjalankan fungsi dengan spesialisasi tertentu dapat disatupadukan dan dihubungkan satu sama lain sehingga dapat menjalankan peranannya secara selaras dalam mewujudkan tujuan bersama. Koordinasi sangat penting meningkatkan efesiensi dan efektifitas pencapaian tujuan lembaga.
Dengan demikian, manfaat koordinasi dalam manajemen dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
  • Menghilangkan dan menghindarkan perasaan terpisah satu sama lain antara atasan dan bawahan.
  • Menghindarkan perasaan atau pendapat bahwa dirinya atau jabatannya merupakan yang paling penting.
  • Mengurangi dan menghindakan kemungkinan timbulnya pertentangan antar pejabat dan pelaksana.
  • Menghindarkan timbulnya rebutan fasilitas.
  • Menghindarkan terjadinya peristiwa menunggu yang memakan waktu lama.
  • Menghindarkan kemungkinan terjadinya kesamaan pekerjaan sesuatu kegiatan.
  • Menghindarkan kemungkinan terjadinya kekosongan pekerjaan sesuatu program atau kekosongan pengerjaan tugas oleh para manajer.
  • Menumbuhkan kesadaran tugas oleh para manajer untuk saling memberikan bantuan satu sama lain terutama bagi mereka yang berada dalam wilayah yang sama.
  • Menumbuhkan kesadaran para manajer untuk saling memberitahu masalah yang dihadapi bersama dan bekerjasama dalam memecahkannya.
  • Memberikan jaminan tentang kesatuan langkah di antara para atasan atau bawahan.
  • Menjamin adanya kesatuan langkah dan tindakan diantara manajer.
  • Menjamin kesatuan sikap diantara manajer.
  • Menjamin kesatuan kebijaksanaan di antara manajer dalam wilayah tertentu.
Di samping itu, manfaat koordinasi dalam managemen, antara lain dapat mencegah pertengkaran antara lembaga karena berebut kekuasaan atau wewenang, dapat menghindari saling lempar kewajiban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas, dapat mencegah terjadinya kesimpangsiuran, dapat mengembangkan prakarsa dan daya inprovisasi para petugas. Dalam rangka koordinasi, mereka, mau tidak mau, harus mendapatkan cara dan jalan yang cocok bagi pelaksanaan tugas secara menyeluruh dan mencapai keseimbangan serta keserasian.

Beberapa pendapat lain juga mengatakan tujuan dan manfaat koordinasi antara lain:
  • Untuk mewujudkan KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Simplifikasi) agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.
  • Memecahkan konflik kepentingan berbagai pihak yang terkait.
  • Agar manajer pendidikan mampu mengintegrasikan dan mensinkronkan pelaksanaan tugas-tugasnya dengan stakeholders pendidikan yang saling bergantungan, semakin besar ketergantungan dari unit-unit, semakin besar pula kebutuhan akan pengoordinasian.
  • Agar manajer pendidikan mamapu mengoordinasikan pembangunan sector pendidikan dengan pengembangan sector-sektor lainnya.
  • Agar manajer pendidikan mampu mengintegrasikan kegiatan fungsional dinas pendidikan dan tujuan-tujuan dari unit organisasi yang terpisah-pisah untuk mencapai tujuan bersama dengan sumber daya yang terbatas secara efektif dan efisien.
  • Adanya pembagian kerja dimana semakin besar pembagian kerja, semakin diperlukan pengoordinasian/ penyerasian sehingga tidak terjadi duplikasi atau tumpang tindih pekerjaan yang menyebabkan pemborosan.
  • Untuk mengembangkan dan memelihara hubungan yang baik dan harmonis diantara kegiatan-kegiatan, baik fisik maupun nonfisik dengan stakeholders.
  • Untuk memperlancar pelaksanaan tugas dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dengan sumber daya pendidikan yang terbatas.
  • Mencegah terjadinya konflik internal dan eksternal sekolah yang kontra produktif.
  • Mencegah terjadinya kekosongan ruang dan waktu.
  • Mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat.
Akhirnya, dapat dikemukakan bahwa manfaat utama koordinasi dalam managemen adalah untuk menumbuhkan sikap egaliter, serta meningkatkan rasa kesatuan dan persatuan diantara atasan dan bawahan dengan tetap menghargai kewajian dan wewenang masing-masing. Dengan demikian, setiap atasan dan bawahan, tidak terjebak oleh kepentingan masing-masing bagian yang sempit sehingga dapat menjalankan perannya secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuah sekolah secara kaffah ( menyeluruh).

D. Prinsip Koordinasi


Prinsip merupakan kebenaran yang pokok atau apa yang diyakini menjadi kebenaran pada suatu waktu tertentu (Moekijat, 1994: 36). Dengan demikian yang dimaksud dengan prinsip-prinsip koordinasi adalah
kebenaran-kebenaran yang pokok atau apa yang diyakini menjadi kebenaran-kebenaran dalam bidang koordinasi.

Menurut George R Terry dan Stephene G. franklin (moekijat 1994: 36), mengatakan bahwa prinsip dapat dirumuskan sebagai suatu pernyataan atau kebenaran yang pokok yang memberikan suatu petunjuk untuk berpikir atau bertindak. Pernyataan yang pokok memberitahukan hasil-hasil apakah yang dikemukakan bila prinsip itu diterapkan. Berikut adalah beberapa prinsip yang dikemukakan oleh beberapa ahli (dalam
Moekijat 1994: 36), yaitu:
  1. Geoge R. Terry, mengatakan bahwa koordinasi itu membantu memperbesar hasil kerja suatu kelompok dengan jalan mendapatkan keseimbangan dan menyatupadukan kegiatan bagian-bagian yang penting, menunjukkan partisipasi kelompok dalam tahap awal perencanaan dan mendapatkan penerimaan tujuan kelompok dari setiap anggota. 
  2. Menurut Dann Sugandha, (1988: 16) mengatakan bahwa beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam menciptakan koordinasi antara lain adalah: 
  • Ada kesepakatan dan kesatuan pengertian mengenai sasaran yang 
  • harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama. 
  • Adanya kesempatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus 
  • dilakukan oleh masing-masing pihak, termasuk target dan 
  • jadwalnya. 
  • Adanya kegiatan atau loyalitas dari setiap pihak terhadap bagian 
  • tugas masing-masing serta jadwal yang telah ditetapkan. 
  • Adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang berkerja 
  • sama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, 
  • termasuk masalah-masalah yang dihadapi masing-masing. 
  • Adanya koordinasi yang dapat memimpin dan menggerakkan serta 
  • memonitor kerja sama tersebut, serta memimpin pemecahan 
  • masalah bersama. 
  • Adanya informasi dari berbagai yang mengalir kepada koordinator 
  • sehingga koordinator dapat memonitor seluruh pelaksanaan kerja 
  • sama dan mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh 
  • semua pihak. 
  • Adanya saling hormati terhadap wewenang fungsional masingmasing pihak sehingga tercipta semangat untuk saling bantu.


E. Karakteristik Koordinasi Yang Efektif


Menurut Tripethi dan Reddy (dalam Moekijat 1994.39), syarat untuk mencapai koordinasi manajemen yang efektif ada sembilan, syarat yaitu:

Hubungan langsung 
Koordinasi dapat lebih mudah dicapai melalui hubungan pribadi langsung diantara orang-orang yang bertanggung jawab. Melalui hubungan pribadi langsung, ide-ide, cita-cita, tujuan-tujuan, pandangan-pandangan dapat dibicarakan dan salah paham dapat dijelaskan jauh lebih baik ketimbang melalui metode apapun lainnya. 

Kesempatan awal 
Koordinasi dapat dicapai lebih mudah dalam tingkat-tingkat awal perencanaan dan pembuatan kebijaksanaan. Misalnya, sambil mempersiapkan rencana itu sendiri hanya ada konsultasi bersama. 
Dengan cara demikian tugas penyesuaian dan penyatuan dalam proses pelaksanaan rencana lebih mudah. 

Konstitusi 
Koordinasi merupakan suatu proses yang kontinyu dan harus berlangsung pada semua waktu, mulai dari tahapan perencanaan. Oleh karena itu koordinasi merupakan dasar struktur organisasi, maka koordinasi harus berlangsung selama perusahan berfungsi.

Dinamisme 
Koordinasi harus secara terus menerus diubah mengingat perubahan-perubahan lingkungan intern maupun ekstern. Dengan kata lain koordinasi itu jangan kaku. Koordinasi akan meredakan masalahmasalah apabila timbul koordinasi yang baik akan mengetuai masalah secara dini dan mencegah kejadiannya. 

Tujuan yang jelas 
Tujuan yang jelas itu penting untuk memperoleh koordinasi yang efektif dalam suatu perusahan, manajer-manajer bagian harus diberitahu tentang tujuan perusahan dan diminta agar berkerja untuk tujuan bersama perusahan. Suatu tujuan yang jelas dan diberikan keselarasan tindakan. 

Organisasi yang sederhana 
Struktur organisasi yang sederhana memudahkan koordinasi yang efektif. Penyusunan kembali bagian-bagian dapat dipertimbangkan untuk memiliki koordinasi yang lebih baik diantara bagian. Pelaksanaan pekerjaan dan fungsi yang erat berhubungan dapat ditempatkan di bawah beban seorang pimpinan apabila hak ini akan 
mempermudah pengambilan tindakan yang diperlukan untuk koordinasi agar semua bagian yang saling berhadapan dapat dibicarakan kepada seorang atasan bersama untuk menjamin koordinasi yang lebih baik. Suatu sub bagian merupakan suatu contoh jelas pengelompokan ini. Suatu sub bagian membuat koordinasi lebih mudah dan membantu penyusunan yang cepat terhadap perubahan lingkungan.

Perumusan wewenang dan tanggung jawab yang jelas
Faktor lain yang memudahkan koordinasi adalah wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk masing-masing individu dan bagian. Wewenang yang jelas tidak harus mengurangi pertentangan diantara pegawai-pegawai yang berlainan, tetapi juga membantu mereka dalam pelaksanaan pekerjaan dengan kesatuan tujuan. Selanjutnya, wewenang yang jelas membantu manajer dalam mengawasi bawahan bertanggung jawab atas pelanggaran pembatasan-pembatasan.

Komunikasi yang efektif
Komunikasi yang efektif merupakan salah satu persyaratan untuk koordinasi yang baik. Melalui saling tukar informasi secara terus menerus, perbedaan individu dan bagian dapat diatasi dan perubahan-perubahan kebijaksanaan, penyesuaian program-program, untuk waktu yang akan datang, dan sebagainya, dapat dibicarakan. Melalui komunikasi yang efektif tindakan-tindakan atau pelaksanaanpelaksanaan pekerjaan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan perusahan dapat dihindarkan dan kegiatan-kegiatan keseluruhan staf
dapat diarahkan secara harmonis menuju ke pelaksanaan tujuan perusahan yang ditentukan.

Kepemimpinan dan supervisi yang efektif
Suksesnya koordinasi banyak dipengaruhi oleh hakikat kepemimpinan dan supervisi. Kepemimpinan yang efektif menjamin koordinasi kegiatan orang-orang, baik pada tingkatan perencanaan maupun pada tingkat pelaksanaan. Kepemimpinan yang efektif merupakan metode koordinasi yang paling baik dan tidak ada lain yang dapat menggantikannya (Moekijat 1994:39-42)